Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Tentang do'a, siapa yang tidak
mengenalinya. Siapa pula yang bisa mengendalikannya. Dua tahun lalu, ada
seorang anak remaja berusia 18 tahun yang sedang mencari apa itu karir, apa itu
kerja dan apa itu definisi mapan.
Namanya Tia, Saya kenal dia sekitar 2 tahun lalu. Saya katakan sekali
lagi, do'a itu tidak ada batasnya. Mencoba membendung tidak akan pernah tersurutkan.
Itulah hal besar dalam kehidupan manusia. Tia sejak awal kedatangnnya ke Ibu
Kota, memang memiliki
tujuan yang sama, seperti orang-orang pada umumnya. Iyah, mencari rezeki, peraduan nasib dan kegigihan.
Namun, sekolah yang membesarkan jati
dirinya, dengan sumpah mempertahankan apa yang dipegangnya, sesaat luntur
karena sudah terlanjur.
Karena, pekerjaan bukan suatu hal
yang bisa dibilang gampang, Tia menjadi hilang akal dan membenarkan apa-apa
yang dia sangkal seorang diri.
Keputusannya untuk menerima pekerjaan
yang mengharuskannya menanggalkan hijabnya selama ini harus dipertaruhkan.
Memang benar, Tia bukan pemakai hijab yang konsisten, bahkan ia hanya memakai
waktu sekolah saja.
Setelahnya, kadang buka tutup tapi
tidak lepas dari aturan yang sopan. Tia tau batasan, namun saat itu, ia lengah pada aturan Tuhan.
Keputus-asaan yang cukup
mengkhawatirkan, menyebabkan dirinya berani berkata, "Baiklah tidak apa-apa aku menanggalkannya, sebab ini halal bukan
mencuri, bukan pula berjudi". Segala maklumat, hal-hal buruk yang
tajam jadi tameng kekuatan untuk meluruskan tindakannya. Lebih
tepatnya alibi yang kebablsan mencari benar menurut akal bukan menurut ajaran
yang benar.
Ia akhirnya melepas hijab hidupnya
dan yang dikorbankan adalah perasaan tanpa sadar selama koridor pekerjaan
mendekapnya pelan-pelan. Hanya sebatas ruang itu, setelahnya ia pakai pulang
dan pergi kemana saja.
·
Pertama, apa yang dirasakan Tia?
·
Ia merasakan beban kesalahan dan kerisihan semakin berat dan menjadi tidak
tenang.
·
Tapi, semakin kesini semakin biasa saja. Bahkan, mengarah ke
perasaan nyaman. (Astaghfirullah,
Naudzubillah)
Hingga akhirnya, suatu ketika aku
bertemu dengannya. Dia bercerita banyak hal, dan perasaan beban takut yang mulai di alaminya belakangan ini, dicurahkan serintih-rintihnya pada
sandaran redupnya iman seorang manusia. Setahun setelah bekerja, Tia sering
merasa tidak tenang. Bahkan, pada sebait kalimat baik, kata yang mengingatkan hukuman
anak perempuan terhadap orang tuanya menjadi kesedihan paling mendalam. Orang
tuanya maklum, karena Tia meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Beberapa hal menjadi hambatan bagi
Tia, tentang pahala shalatnya, tentang ia tahu ini dosa dan salah tapi terus menyanggah.
Akhirnya, diseputaran ketidaktenangan itu, Tia mengambil kehadiran pada
event-event pengajian. Awalnya, ia tertutup. Tapi, setelah kita saling
menguatkan mulailah ia terbuka dan sesekali bersandar pada sisi kepala sebagai
penyesalan.
Semakin kesini, tema-tema kajian seakan menjerumus ke masalah dirinya
“Tuhan seakan mengingatkan. Tapi, apa aku dibutakan atau aku yang tulinya keterlaluan.” Tuturnya kepadaku.
Kadang ia sangat malu dan mengolok-olok dirinya. Sampai, tiba dimana Tia mendengar seorang kakek tua di masjid daerah Jakarta berkata padanya.
"Janganlah, kalian berputus asa dari rahmat Allah, tidak ada keputus-asaan selain dari orang-orang kafir ." (QS Yusuf :87).
Kakek tua itu seperti menasehati
dirinya yang sedang tidak karuan. Finalnya, saat ia menghadiri kajian
Ust. Adi Hidayat. Dari sana, air matanya sangat deras berjatuhan. Beribu ampun
dipastikan sangat terdengar kala itu, tepat saat aku disampingnya. Tangis sesegukan
tak bisa disembunyikan dari mukena putih yang masih terpakai di sekujur
badannya. Dia berdiam di masjid sampai malam, ia masih menenangkan dirinya. Sebuah
pukulan hebat rohani yang tidak bisa dikalahkna dengan egoisnya ketamakan dunia
ini.
Hingga, ia berdoa dengan pelan,
"Allah adalah pemilik alam, kenapa aku takut kehilangan apa yang aku miliki. Padahal, sumber rezeki adalah Allah, lantas kenapa aku selalu menguatkan perbuatan yang jelas-jelas salah.”
Kalimat itu yang selalu jadi motivasi
Tia untuk kembali ke hatinya yang lebih tenang.
Malam itu, tahun baru Islam, Tia menangis hampir tidak sadar. Berdoa setiap
panggilan malam, karena hatinya sungguh kosong
tanpa arti juang. Kemudian, pagi harinya ia bulatkan tekad.
"Ibu maaf, saya mau resign. Alasannya saya mau mencari keberkahan. Ibu tau, saya sudah tiga kali meminta untuk di izinkan berjilbab selama bekerja. Tapi, kata Ibu ini sudah kebijakan atasan. Baik, dari sini saya mengundurkan diri."Sambil terbata-bata, Tia memberanikan diri berbicara pada atasannya, bahkan sudah direncanakan 6 bulan sebelumnya.
Bukan hal mudah bagi Tia, harus
keluar dari pekerjaan dan menanggung uang kuliah, kos dan makan seorang diri.
Hampir sebulan, ia menganggur. Tapi, ia harus yakin bahwa janji Tuhannya
benar. Ia tidak mau ditertawakan apalagi dibuatnya menyesal atas
keputusan yang sudah diambil. Setiap saat doa selalu dipanjatkan, termasuk
bertemu dengan orang-orang baik dan bisa mengarahkan ke arah iman yang kuat
tertanam.
Alhamdulillah, Tia bisa yakin dengan
sendirinya. Sampai, bantuan biaya kuliah didapatnya dari yayasan. Sebulan
setelah itu, ia mendapat tawaran dari teman yang kebetulan teman satu
kajiannya. Dia
bekerja di tempat yang seharusnya, mungkin tidak terlalu bonafit, tapi segala
hal diatur dengan santun, sesuai porsi niat dan ketulusan. Berjilbab adalah
pegangan yang hidup menjadi hidup terhormati, kesemuanya untuk mencapai ridho
illahi.
Dan Tia, saat ini masih terus berd'oa agar bahu dan telapak kakinya dikuatkan untuk
hal-hal pahit yang tidak semanis dulu.
Ia sekarang berjilbab, ia juga tidak
lepas dari mengaji setiap pagi bersama kawan-kawannya disana. Tia harus
membuktikan bahwa ia akan jadi orang berpengaruh untuk dirinya, adiknya,
kakaknya, saudara-saudaranya atau bahkan dunia. Keputusannya kala itu untuk
keluar dari pekerjaan yang memakmurkan gaya hidupnya, adalah jalan yang tepat.
Perasaannya yang lebih tenang dan waktu yang jauh lebih bermanfaat adalah cita-cita
tertinggi dari usia yang harus digunakan semaksimal mungkin. Karena hidup,
tujuannya untuk kembali kepada Tuhan. Kepada Allah SWT.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.
PS: Aku saat kita bareng @Tia
0 Comments