Bertemu Kembali di Bus
Jam delapan malam, Barkeley menunggu bus di halte tempat ia biasa menunggu untuk menuju pulang ke rumah neneknya. Bus datang, ia segera naik dan mencari tempat duduk yang kosong. Hingga tatapan ke seluruh sudut ternyata bangku sudah penuh. Malam itu tumben bus penuh dan hampir tak tersisa kursi yang kosong. Tiba-tiba pandangannya terhenti di bangku ke lima dari depan, didapatinya Windsmon sedang menggambar entah apa yang dia gambar di sebuah kertas gambar ukuran buku bacaan itu. Lalu Barkeley menghampirinya,
“Hallo…bertemu lagi. Boleh saya duduk disini. Kebetulan hanya
bangku disamping anda yang tersisa.”
Windsmon menghentikan pensil yang sedang digoreskan ke
kertas di tangannya, lalu ditatapnya Barkeley. Ia menganggung menandakan bahwa
permintaan Barkeley disetujui. Dalam perjalanan tersebut, mereka berdua sempat
berbincang. Walaupun Barkeley mendapati sosok laki-laki ini cukup misterius dan
sedikit interaksi, ia mencoba untuk mencairkan suasana.
“Anda biasa ke kota kecil di Vienna juga saat sore hari ?”
Windsmon hanya menggeleng dan sibuk dengan apa yang sedang digambarnya.
“Nama saya Barkeley. Rosa Barkeley. Saya sedang berada di Vienna untuk kunjungan tahunan ke rumah nenek.”.
Tegurnya. Untuk pertama kalinya, Windsmon
menjawab cukup panjang. “Saya Windsmon, Albert Will Windsmon”.
Dan betul, Barkeley tidak salah orang. Dia adalah Will,
teman lama di kampus yang yang sama di Sigmund Freud University Vienna. Barkeley memang mengenal Will
karena laki-laki ini cukup populer dengan keperibadian yang dingin. Betapa
senang dan bersyukur bisa berjumpa kembali dengan Will (nama sapaannya dulu).
Windsmon hanya terpaku tidak banyak bicara. Tapi dalam hati Barkeley, ia
sungguh ingin berbicara banyak, apakah ia tau bahwa dirinya satu kampus dengan
Windsmon atau hanya dia yang telalu ingin mencari tahu tentang laki-laki
populer ini.
Bus yang ditumpangi Barkeley telah tiba di Ringstasse Street. Lalu ia berpamitan kepada Barkeley.
“Kenapa aku tidak menanyakan ia tinggal atau sedang melakukan apa disini..”
Baru terbesit saat ia turun dari bus, tiba-tiba
bus sudah melaju kembali. “Mungkin saya berharap bisa bertemu dengannya lagi
suatu hari. Atau kita bisa bertemu di pantai sore hari. Saya harap begitu.”
Barkeley lalu berjalan menuju gang rumahnya (tempat neneknya lebih tepat saya
sebutnya).
“Akhirnya saya bertemu dengannya. Ini sudah lebih dari cukup untuk tahu keadaanya setelah 10 tahun silam sejak kelulusan itu.”
Windsmon berkata dalam hati, seraya terus menggambar. Rupanya ia memang mengenal Barkeley dan bisa dikatakan tujuan utamanya adalah bertemu Barkeley. Siapa sangka bahwa Windsmon ternyata menaruh rasa pada Barkeley kala itu saat dia tiba-tiba bertabrakan di tangga dan tidak sengaja menjatuhkan tumpukan buku yang sedang Barkeley bawa. Dari situ ia mulai penasaran siapa Barkeley. Namun, hal itu tidak pernah ia sampaikan, karena sikapnya yang dingin selalu saja membuat orang tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan.
Hanya kala itu, ia berani berbicara dengan Barkeley untuk pertama
kalinya. Selanjutnya, Windsmon hanya mampu melihat Barkeley dari kejauhan
mungkin diantara lantai kampus yang menyorot ke kelas atau tempat dimana ia biasa
berjalan berasama teman-teman kampusnya.
Daftar Isi
0 Comments