Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku, ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek.
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku,
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-garuk bantal saat aku bermimpi
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolaknya
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya
Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota,
Mencipta banjir dari genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah,
kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang-orang datang ke pasar malam, satu persatu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah,
kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak.
Dan batasnya adalah ufuk.
Begitu jarak ditempuh sang ufuk menjauh.
Yang tertinggal jarak itu juga-abadi.
Di depan sana ufuk yang itu juga-abadi.
Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukan dan menggenggamnya dengan tangan-jarak dan ufuk abadi itu
Pramoedya Ananta Toer, "Gadis Pantai", (Jakarta: Lentera Dipantara, 2003), hlm. 269.
0 Comments