Sisi Bahaya Konten Psikologi



Beberapa dekade ini, para generasi millenials atau generasi Z, sudah memberanikan diri untuk mengetahui lebih jauh tentang emosi mental dan jiwa mereka kepada para psikolog. Memang banyak hal yang menimbulkan kecemasan, stress dan depresi dari dampak lingkungan pergaulan di serba digital ini.


 

Informasi tentang psikologi dan kesehatan mental (yang saat ini mudah didapat) justru membuat sebagian orang~~tidak semua, ya~~mudah melabel orang lain, mendiagnosis diri sendiri dan memiliki dalih atau pembenaran atas kekeliruan yang dilakukan.

 



"Punya Hobby Menulis ?? Yuk cari Platform terbaikmu"

 




Namun, ada sisi bahaya yang membuat saya gusar, resah, dan miris! 😓😓

Seperti yang sudah saya tulis diatas, Informasi yang mudah didapat itu justru membuat sebagian orang—tidak semua, ya—

  • mudah melabel orang lain, 💥
  • mendiagnosis diri sendiri, dan 💥
  • memiliki dalih atau pembenaran atas kekeliruan yang dilakukan.💥

 

BACA JUGA :

"5 Startup Canggih di Indonesia Dalam Bidang Pengelolaan Sampah"


Contoh, : 

beberapa tahun terakhir mulai populer istilah “toxic parents”. Niat awalnya adalah memberi tahu para orang tua tentang perilaku apa saja yang masuk dalam kategori “toksik”, sehingga mereka bisa memperbaiki perilaku mereka dalam mengasuh anak.

Mirisnya, kini informasi itu malah membuat seorang anak dengan tega melabel orang tuanya sendiri sebagai “toxic parents”.

Bahkan sampai menjadi dalih untuk membenarkan kekeliruan yang anak perbuat pada orang tuanya, 

“Ya wajar lah, gue kayak gini. Orang tua gue tuh toksik banget!”

Karena itulah, sejak awal saya tidak sepakat dengan istilah itu dari sudut pandang seorang anak. Sampai detik ini saya tak pernah menggunakannya.

Saya hanya akan sepakat dan menggunakan istilah itu untuk diri sendiri—kelak saat sudah jadi orang tua—bukan untuk orang tua saya ataupun orang tua mereka. Melainkan untuk merenung, 

“Apakah saya sudah benar dalam mengasuh anak? Saya termasuk toxic parents atau tidak, ya?”


Dan, masih banyak informasi lain yang berujung semacam ini. Bukannya digunakan untuk diri sendiri, tapi malah sibuk dijadikan sarana untuk menghakimi peran orang lain, serta membenarkan kekeliruan yang dilakukan.

 

BACA JUGA :

" Jim Geovadi - Sosok Hacker Indonesia yang Ditakuti Dunia"


Contoh lain, :

~ dalam persoalan gangguan jiwa. 

Tentang gejala depresi, misalnya. 

Informasi yang semula bertujuan mengedukasi orang-orang—agar bila mengalami hal serupa segera konsultasi ke ahlinya (psikolog atau psikiater)—malah digunakan untuk mendiagnosis diri sendiri dan larut dalam kekhawatiran yang belum pasti.



  • kepada siapa, 
  • untuk apa, dan 
  • bagaimana menyikapi sebuah informasi.
  • Semoga dimanapun kita, bijak lah dalam menggali sumber informasi. Kita tidak boleh menelan informasi yang datang betubi-tubi kepada kita secara mentah-mentah. Pandai-pandailah memilah dan memilih mana yang bagus untuk kita dan mana yang sebaiknya kita abaikan.

     

    ~SEMOGA BERMANFAAT~

    Sumber informasi : @putrizkimel


    BACA JUGA :

    "Daftar 8 Negara yang Memblokir WhatsApp"

    Post a Comment

    0 Comments

    Comments