UNTUK YANG DITINGGALKAN
Apa yang kita hadapi dalam pandemi bukan lagi pilihan makan di luar atau di rumah, partai A atau partai B, prioritas ekonomi atau kesehatan, tapi masalah hidup dan mati. Saat ajal menjemput, semuanya selesai. Tidak ada yang lain. Kerepotan mengurus jenazah hanya bagi yang hidup. Kedukaan dan tangis kehilangan juga hanya bagi yang ditinggalkan.
Persis, di situlah letak persoalan pandemi: apa yang harus dilakukan oleh yang masih hidup, dengan kata lain, adalah kamu yang membaca tulisan ini?
Setiap duka usai diseka, setidaknya ada dua hal yang sanggup kita lakukan. Pertama, sesuatu yang bisa kita lakukan secara pasif. Sederhana, yakni melakukan pekerjaan kita masing-masing dengan sebaik- baiknya, setepat-tepatnya untuk situasi pandemi.
Anda jurnalis? Lakukan pekerjaan Anda dengan benar. Itu akan berarti kala publik dicurahi sengkarut informasi yang cemar oleh propaganda, hoaks, dan hasutan.
Kamu seorang mahasiswa? Belajar dengan tekun, peluk dengan teguh kaidah-kaidah keilmuwan masing-masing, dan sebarkan ilmu dan pengetahuan yang kamu kantungi kepada mereka yang masih belum tahu, tidak mau tahu, dan menolak tahu.
Profesi lain? Entah itu politikus, aparat keamanan, apoteker, petani, Youtuber, apapun itu, jadilah versi terbaik darinya.
Tatkala kaos tengah membayangi kita semua, ketika semua orang sudah berada di ujung sabar dan frustrasi, kiprah kecil tak akan sia-sia bila dilakukan dengan cara yang pas sesuai kondisi. Agregat atau gabungan pekerjaan-pekerjaan sederhana itu, jika dilakukan oleh banyak orang, akan menjadi tenaga yang dahsyat, seperti pengungkit yang bisa mengangkat apapun yang memang kudu diangkat, apapun yang patut dibangkitkan.
Langkah kedua yang bisa kita lakukan adalah bersikap aktif. Maksud “aktif” di sini adalah berinisiatif keluar dari kepompong lingkup pekerjaan dan tanggungjawab individual kita. Guna apa? Guna melakukan kerja-kerja yang bisa secara langsung dan jitu membantu orang lain.
Ambil contoh, Wargabantuwarga.com, gerakan yang dirintis dari sesama warga untuk menyediakan informasi krusial terkait pandemi yang menggawat, seperti kontak dan akses rumah sakit, oksigen, ambulans, atau donor konvalesen. Adapula hotline yang bisa dihubungi ketika kebutuhan akan uluran tangan kian mendesak.
Beberapa turunan masalah lebih meruncing, misalnya defisit stok oksigen untuk pasien Covid-19 yang melanda Indonesia. Sederet kawan kemudian turut bergabung dengan gerakan Oxygen for Indonesia, menggalang dana untuk memberikan oxygen concentrator kepada rumah sakit yang membutuhkan.
Teman-teman, ada yang saya pelajari dari episode Mata Najwa malam tadi, Ironi Hari-Hari Ini. Kejadian yang bertentangan dengan seharusnya, rasanya menumpuk dari hari ke hari.
Orang-orang diharapkan untuk terjaga dalam rumah, tapi bantuan dari negara masih entah.
Para tenaga kesehatan dielukan sebagai pahlawan, tapi insentif dan pembayaran mereka masih banyak yang tertahan
Kondisi terpuruk memberi penderitaan ke semua kalangan, tapi ada saja oknum sengaja mengeruk keuntungan .
Negara sepatutnya menjadi jawaban saat akhirnya sungguh dibutuhkan, tapi rakyat justru dituntut untuk bersandar pada persaudaraan.
Ironis, tapi mau tak mau situasi ini yang kita hidupi.
Kamu yang membaca tulisan ini, mungkin punya keleluasaan dan kemerdekaan yang lebih untuk melakukan sesuatu. Jikalau tindakan pasif tadi diartikan sebagai aksi bukan dalam wujud memberi—tapi juga tidak merampas yang bukan hak kita—maka tindakan aktif berarti mengalokasikan sebagian hak kita (harta, energi, waktu) kepada yang lebih dilanda kegentingan.
Mudah-mudahan, orang-orang yang mengambil langkah pertama, apalagi kedua, jumlahnya akan mengejutkan. Berlipat-lipat lebih banyak dari yang berkesempatan membaca tulisan ini.
Saya percaya, bukan hanya virus atau hoaks yang punya daya infeksi, sifat solider juga bisa menginspirasi. Mari publikasikan apa yang kita lakukan. Perbuatan baik pun harus dikelola dengan cara-cara yang efisien dan cerdik, supaya kehadirannya mewabah.
Bukan hanya penularan virus yang menjalar, solidaritas pun bisa merebak secara eksponensial. Ia hanya tak terukur dengan angka.
*) Najwa Shihab
Sumber : Komunitasnarasi
0 Comments