Positivity Rate Masih Tinggi, Beneran Mau Melonggarkan?

 

Sumber gambar : info negeri

Dua hari lagi, PPKM Level 4 akan berakhir. Bisa jadi diperpanjang, bisa juga enggak.


Pokoknya, sesuai penjelasan Presiden Jokowi, perpanjangan akan bergantung pada satu faktor: apakah kasus harian bisa menurun atau tidak. Kalau jadi, rencananya, pelonggaran itu bakal diberlakukan mulai 26 Juli, tepat setelah PPKM Level 4 berakhir.


Nah, ada tiga hal yang dibolehkan Jokowi selama pelonggaran. Rata-rata, sih, terkait jam buka usaha para pedagang. Pertama, pasar tradisional yang mulanya harus tutup pukul 15.00 WIB bakal diizinkan berjualan lebih lama, yaitu sampai 20.00 WIB. Tapi, tetap dengan kapasitas 50 persen pengunjung.


Kedua, segala jenis usaha kecil mulai dari salon sampai tambal ban boleh buka sampai pukul 20.00 WIB. Ketiga, aturan jam buka sampai pukul 20.00 WIB, juga berlaku bagi penjual makanan. Mereka juga boleh menerima pelanggan yang makan di tempat selama 30 menit saja.


Bukan sulap bukan sihir, kasus harian benar-benar menurun, lho.


Sejauh ini, rekor kasus harian paling tinggi terjadi pada 16 Juli 2021 yakni sebanyak 54.000 kasus. Mendekati berakhirnya masa PPKM Darurat, angka itu terus menurun ke angka 40 ribuan. Pada Senin (19/07), angka itu sudah berada pada 34.257 kasus.


Sempat naik ke 38.325 kasus per Selasa (20/07), lalu turun lagi menjadi 33.772 kasus pada Rabu (21/07). Penurunan kasus harian itu bukan karena perkataan Jokowi manjur, ya. Tapi, karena jumlah tes juga menurun.


Misalnya, pada penurunan kasus per Rabu (21/07), jumlah tes yang dilakukan hanya sebatas 116.232 orang. Padahal, target Menkes Budi Gunadi Sadikin adalah 400 ribu tes dalam sehari. Bahkan, testing yang rendah pun enggak berpengaruh pada positivity rate.


Mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama bilang, positivity rate Indonesia terus berada di angka 30-an dalam seminggu terakhir. Bahkan, kata Tjandra, angka itu sudah 15 kali lipat dari positivity rate India. Indonesia resmi jadi pemegang positivity rate nomor satu di Asia.


Mau dimanipulasi bagaimanapun, positivity rate enggak pernah bohong, lho.


Tak hanya itu, Indonesia juga mencatat rekor lainnya sebagai negara yang dengan kematian harian paling banyak sedunia pada 20 Juli yaitu 1.280 orang. Karena itulah, banyak ahli dan relawan warga mendesak agar testing lebih digencarkan lagi.


Pada akhirnya, pemerintah akhirnya menurut. Lihat saja apa yang terjadi. Kamis (22/07) kemarin, jumlah tes dinaikkan secara signifikan kepada 228.702 orang. Hasilnya, kasus harian melonjak lagi menjadi 49.509 kasus.


Hari itu juga, Indonesia pun resmi mencapai tiga juta kasus COVID-19, atau lebih tepatnya 3.033.339 kasus. Keadaan ini semakin diperparah dengan tracing yang mandek menurut co-inisiator koalisi warga Lapor Covid-19, Ahmad Arif.


Kalau begini caranya, Arif percaya suatu saat penularan akan terjadi ke semua orang. Yang belum tertular tinggal menunggu giliran saja. Masalahnya, ia khawatir pandemi akan berakhir jadi pertarungan pada siapa yang paling kuat bertahan. Atau bahasa gaulnya, survival of the fittest.


Arif mengutip studi kalau pandemi memberi tekanan yang lebih keras pada negara-negara yang secara sosial ekonomi lebih marginal. Artinya, korban-korban yang berjatuhan nantinya banyak disumbang dari mereka yang miskin dan/atau rentan secara fisik.


Kesenjangan antara yang kaya (dan berkuasa) dan yang miskin memang semakin nyata selama pandemi. Yang tak punya aset investasi miliaran terpaksa bekerja keluar rumah untuk mencukupi kebutuhan. Bagi orang-orang seperti itu, pilihannya hanya dua: mati karena Corona atau mati kelaparan.


Jadi, bukannya tak mau patuh dengan aturan, tapi semata karena tak punya pilihan lagi. Sementara pemerintah yang jadi satu-satunya tumpuan masyarakat ‘tak punya pilihan’ itu, enggak memberinya kebutuhan cukup. Malah sibuk minta jatah RS dan ICU khusus pejabat.

 

*) Andara Rose

Post a Comment

0 Comments

Comments