Bukan susu beruang, bukan pula Ivermectin. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tak pernah mengamini keampuhan keduanya menangkal Covid-19.
Kata Ketua BPOM, Penny Lukito, hanya dua zat yang telah mengantongi izin darurat atau emergency use authorization (EUA) sebagai obat Covid-19. Mereka adalah zat Remdesivir dan Favipirafir. Kedua zat itu lalu diturunkan menjadi 12 jenis obat.
Sebenarnya, sih, izin EUA sudah diterbitkan sejak September 2020
lalu. Hanya saja, ini sebagai penegasan kembali agar tak mengonsumsi
obat yang tak direstui BPOM sebagai obat Covid-19.
Mau kamu dapat broadcast macam-macam di WhatsApp tentang
kehebatan obat tertentu, tapi kalau belum ada bukti klinis akan
khasiatnya, jangan pernah coba-coba, ya. Mengonsumsi kedua obat itu pun
enggak sembarangan, hanya boleh dikonsumsi pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan pengawasan dokter.
Eh, sebentar. Sebenarnya apa, sih, Remdesivir dan Favipirafir?
BPOM punya dasar, kan, melabeli dua zat itu sebagai obat Covid-19?
Tentu punya dong. Kedua zat itu sendiri sudah terbukti khasiatnya
di beberapa uji klinis negara-negara lain. Mari kita bahas Remdesivir
dulu. Remdesivir adalah penghambat enzim RNA polimerase. Fungsinya
menghentikan virus agar tak menggandakan diri.
Gilead Sciences,
perusahaan Amerika berbasis riset obat-obatan bilang, zat itu berjasa
menghentikan wabah virus Ebola di Afrika pada 2014. Temuan National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) Amerika dan Food and Drug Administration (FDA) juga positif.
Remdesivir bisa memperpendek penyembuhan dari 15 menjadi 11 hari,
juga menurunkan angka kematian dari 11,6 persen menjadi 8 persen. Sama
halnya dengan Remdesivir, Favipirafir merupakan penghambat enzim RNA-dependent RNA polimerase (RdRp) dan juga analog antivirus pyrazine.
Kalau kamu bingung, intinya kedua peran Favipirafir akan
menghancurkan proses replikasi di sel RNA. Favipiravir sendiri dijadikan
obat antivirus untuk melawan influenza pertama kali di Jepang dan
mendapat izin untuk digunakan di India sebagai obat Covid-19.
Dari hasil studi Council of Scientific and Industrial Research
(CSIR) India, pasien sembuh lebih cepat. Dari 80 orang, sebanyak 35
mengonsumsi obat itu, dan sisanya tidak. Hasilnya, rata-rata dari 35
orang sembuh dalam waktu empat hari. Sementara 45 orang sisanya sembuh
lebih lama dalam 11 hari.
Kesimpulannya, BPOM mesti punya dasar buat memberi izin EUA, pastinya enggak ngasal.
Kalaupun terjadi sesuatu yang buruk, mereka telah menyiapkan pemantauan
farmakovigilans, kok. Itu adalah pemantauan dan pelaporan efek samping
yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Perlu diingat lagi, kamu enggak usah ngide buat minum
salah satu dari kedua obat itu ketika terinfeksi Covid-19. Apalagi
enggak ada dokter yang memantau. Nah, kalau kamu sedang isolasi mandiri
(isoman) dan kamu butuh obat, Kementerian Kesehatan telah menyediakan
fasilitas gratis buat kamu.
Khusus teman-teman di Jakarta, bisa hubungi salah satu dari 10 aplikasi
yang bekerja sama dengan Kemenkes. Obat yang kamu butuhkan akan
langsung diantar di depan rumah. Kalau kamu butuh isi ulang oksigen,
bisa cek di sini atau di sini.
Kalau kamu sedang menemani anggota keluargamu isoman dan tiba-tiba saturasi oksigennya menurun, kamu jangan panik dulu. Coba minta untuk melakukan gerakan proning terlebih dahulu. Ahli telah membenarkan itu bisa meningkatkan kadar oksigen di paru-paru.
Kita paham, kondisi sekarang tak mudah bagi sebagian besar orang.
Yang tetap sehat dan tak perlu terjun di hiruk pikuk kegentingan ini,
kamu sangatlah beruntung. Tetap jaga kesehatan dan #JanganNungguGiliran.
*) Andara Rose
0 Comments