Sumber gambar :ussfeed.com |
Jakarta memang strategis dan menjanjikan. Ia tak pernah tak sibuk. Pagi, siang, malam, kota itu seperti tak pernah rehat. Wajar, sih, kota itu dipenuhi impian para perantau untuk menagih janji kehidupan yang lebih baik.
Tapi, harapan itu membuat standar Jakarta terlalu tinggi. Banyak yang mampu bertahan, tak sedikit pula yang gagal. Kini, Jakarta menyimpan segudang permasalahan. Kemacetan dan pencemaran udara pun tak terhindarkan.
Makanya, tak heran jika Vaay, produsen minyak esensial di Berlin, Jerman menaruhnya di urutan ke-9 sebagai kota paling stres di dunia. Mereka memang telah menyusun laporan bertajuk “The Least and Most Stressful Cities Index 2021” dengan mengurutkan 500 negara dalam dua kategori.
Nantinya, 100 negara akan masuk kategori paling stres dan 100 lainnya akan masuk paling tidak stres dengan 16 indikator penilaian. Seperti pemerintahan, tekanan sosial dan finansial, tingkat pengangguran, polusi, kepadatan, jaminan sosial kesehatan mental, akses kesehatan, hingga penanganan Covid-19.
Hasilnya, kota Mumbai, India nangkring di urutan teratas sebagai negara paling stres di dunia. Sementara Reykjavik, Islandia menjadi kota paling tidak stres dengan nilai 100. Polusi udara dan air di kota itu memang minim dan punya tingkat kesetaraan gender sangat tinggi.
Nah, sekarang coba kita cek Jakarta. Pada April 2021 lalu, IQAIR, platform pengecekan kualitas udara, menyebut Jakarta sebagai kota dengan polusi udara terburuk ke-4 di dunia, setelah New Delhi, Wuhan, Beijing. Air quality index (AQI) Jakarta mencapai 152 saat itu dan itu sudah terhitung tidak sehat.
Bahkan, saat PPKM Darurat diberlakukan, AQI Jakarta masih saja berada di kisaran angka itu. Bahkan, ad ada yang mencapai 200 ke atas di beberapa daerah. Padahal, kata Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mobilitas masyarakat turun 15 persen selama tujuh hari pembatasan.
Selain itu, pengangguran di Jakarta juga tak sedikit. Per September 2020, populasi Jakarta sudah mencapai 10,56 juta jiwa. Dari angka itu, sebanyak 10,95 persen atau tepatnya 572.780 orang tak bekerja di Jakarta menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2020.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengaku, pandemi Covid-19 menyumbang angka pengangguran di Jakarta. Meski begitu, Vaay mencatat Jakarta mampu menduduki Top 10 dalam kesehatan mental, bersama Tokyo, Seoul, Hanoi, dan Manila.
Salah satu pendiri Vaay, Finn Age Hänsel enggak berniat buat menjelek-jelekkan kota tertentu. Tujuan Finn hanya satu: untuk mempromosikan keseimbangan batin dan mindfulness. Dia juga berharap laporan ini bisa jadi acuan buat membenahi kotanya dengan tata kelola dan kebijakan yang efektif.
Juga biar masyarakatnya lebih sejahtera lagi dan menjadikan kotanya tempat stres lagi untuk ditinggali. Biar ada motivasi begitu, guys. Misalnya dengan mencontoh pencapaian kota-kota ‘less stressful’.
Kayak Singapura yang berada di urutan ke-3 dalam kategori keselamatan dan keamanan. Atau Bangkok sebagai negara ke-2 dengan tingkat orang-orang bekerja yang tinggi. Bisa juga Tokyo yang punya akses kesehatan terbaik ke-3.
Eh, jangan-jangan nanti masalah Jakarta pindah ke ibukota baru lagi? Semoga enggak, deh.
*) Andara Rose
Sumber :Hallo@narasi.tv
0 Comments