EPISODE 7
Mereka bertiga berdiri didepan Kafe, ponsel
Arga berdering. Diambilnya ponsel tersebut dari saku celananya, dilihat nya Mama dilayar kaca ponselnya tersebut.
Dia segera pamit pada Naira dan Bima, hingga berlalu meninggalkan keduanya untuk sementara.
“Naira, kamu lagi ada masalah ?” tanya Bima
menatap Naira.
“Nggak ko, Bim. Kenapa kamu nanya itu?”
“Aku ngerasa kamu aneh hari ini, kamu
tahukan? Kamu bisa cerita apa saja ke aku dan kapan saja?”
“Bim, masalah nya ada dikamu?” Naira beranjak
pergi tanpa pamit.
Bima terpatung, menatap heran. Arga yang datang lagi menatap tajam dengan wajah bingung dan menyuruh Bima untuk mengejar Naira. Karena tidak baik
seorang wanita pulang sendiri, sedangkan Arga pulang dengan Ojek Online.
“Nai Nai“ menggapai tangan kanan Naira.
“Bisa kamu jelasin apa yang kamu katakan
tadi?” Naira menghentikan langkah nya, Naira bingung kenapa dia bisa dengan
gamblang berkata seperti itu.
----
“Apa kamu tahu? Aku menyukaimu” dengan wajah
menunduk sampai rambut panjangnya kini sedang menutupi wajahnya. Bima tidak terkejut, karena
Bima tahu perasaan itu. Dan sebenarnya Bima juga memiliki perasaan itu. Bima
menyusun kalimat dalam benaknya, agar tidak menyakiti Naira.
“Nai, kamu tahu kan?.....“ belum sempat Bima
menyelesaikan kalimatnya, Naira menyelak.
“Oke, aku tahu. Ini adalah cinta sendiri dan aku gak minta kamu buat balas perasaan aku. Tapi aku juga nggak bisa menghentikan perasaan ini, Bim”
kedua mata sendu itu meneteskan air mata, membiarkan jemari tanpa sadar menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh. Bima memeluk tubuh mungil itu dalam pelukannya.
“Naira, aku juga menyukaimu. Tapi aku begitu takut, takut menghancurkan persahabatan ini. Aku nggak mau kehilangan kamu, Greta dan member baru kita Geo. Bayangin kalau kita pacaran, kalau kita pisah. Lalu, kita saling benci. Kita bakal canggung, jarang ngumpul. Gabisa senyum terlepas”
Bima merenggangkan pelukan itu. Naira tak bergeming, dia kaget atas
apa yang Bima jelaskan. Naira memproses setiap kalimatnya, hingga satu
kata pun muncul dengan tiba-tiba.
“ Pengecut .. !!!“
Naira melepaskan pelukan Bima dan
mundur jauh-jauh dari lelaki yang dia cintai.
“Kamu bahkan sudah memikirkan apa yang belum terjadi,lalu menuruti seolah-olah ini adalah tindakan terbaik. Aku melihat kamu memiliki wanita lain, dan kamu yakin aku percaya kalau itu alasan kamu.”
Naira kembali menyeka semua bulir-bulir air yang mengalir di pipinya. Badannya sudah tidak bisa ditaham Ia lalu pergi meninggalkan Bima.
Bima hanya terdiam, dan mengikuti langkah Naira dari belakang. Bima tak melawan karena, apa yang semua Naira katakan itu benar. Betapa pengecutnya dia, sampai dia pun menyakiti perasaan wanita yang bahkan dia cintai juga.
Arga diujung jalan tertawa sinis, melihat
sepasang manusia sedang mempermainkan hati masing-masing. Arga kembali berbalik
arah karena ada barang yang harus diberikan ke Bima. Bukannya mengembalikan
barang tersebut, dia malah melihat pemandangan yang tidak begitu ramah.
Arga pun memutuskan untuk pulang saja.
Hari-hari Naira dilewati dengan hati dan pikiran tanpa rasa semangat, meskipun sebenarnya dia senang. Ternyata dia tak cinta sendiri. Tapi hati Naira begitu kecewa, karena Dia mencintai Pria yang begitu Pengecut.
Bima mencoba mengumpulkan keberanian untuk
memulai pembicaraan dengan Naira. Namun, selalu saja Naira akan menghindar
ketika melihat Bima menghampirinya atau tidak sengaja bergabung dalam obrolan
random di kantor.
Ponsel Naira berdering, telrihat nama Arga pada layar ponselnya. Naira
mengangkat panggilan masuk tersebut.
“Assalamualaikum, Ga. Ada apa?” menghentikan
aktifitasnya sesaat.
“Waalaikumsalam, Nai. Kamu suka es cream
coklat apa strawberry?”
“ Coklat“ Reflex.
“Tunggu 5 menit“ sambungan telepon itu
terputus tanpa ada kejelasan. Naira menganggap itu hanyalah satu keisengan
Arga. Tidak sampai 5 menit, Bima datang ke meja Naira.
“Arga titip es cream ini untuk kamu, Nai”
menyodorkan es cream Wall’s.
“Terima kasih“ kaget, ternyata Arga tidak
bercanda dalam hati Naira. Tanpa sadar senyum mengambang di wajahnya. Bima memperhatikan
dan menggoda Naira.
“Ada yang jadian nih?”
“Aku saja tidak tahu apa motifnya, jangan
suka menyimpulkan sesuatu yang belum terjadi” Naira menjawab dengan ketus. Seolah sedang memanas-manasi perasaan Bima.
“Oke Maaf. Sebaiknya aku pergi. Selamat
bekerja dan menikmati Es creamnya” Bima berlalu.
Naira belum bisa kembali ramah pada Bima. Dalam hati Naira, dia ingin sekali mudah memaafkan tapi ternyata tidak mudah.
Hari minggu langit meyapa dengan wajah luasnya yang terlihat lesu. Cuaca tak bergitu bersahabat, rintik air jatuh membasahi tanah yang sudah lama tak diberi minum. Naira duduk di kursi penumpang Bus, lagi-lagi Naira pergi ke Bogor menggunakan Bus. Karena dia belum berani menggunakan kereta.
----
Diketuknya pintu kayu yang sudah usang bersama
ucapan salam Naira. Wanita muda dengan wajah yang sudah menunjukan kerutannya
pun membukakan pintu tersebut. Naira memberi salam dan masuk kedalam ruangan
semi permanen dengan ukuran sama seperti kost-an nya di Jakarta.
“Ayah mana, Bu?” Naira menaruh tasnya di
sofa yang sudah tua.
“Ayah lagi ke warung beli gula, ibu ambilkan
air hangat dan handuk dulu ya Ra”
“Naira sudah datang” ucap Ayah Naira diambang
daun pintu.
“Ayah sehat?” menghampiri Ayahnya yang sudah
tua tersebut.
“Sehat ko Ra. Kan anak Ayah udah pulang”
mereka duduk bersama dalam satu ruangan. Ibu menghampiri keduanya sekadar untuk mengambil gula
yang dibeli oleh Ayah lalu memberikan handuk pada Naira untuk mengeringkan
rambutnya dan kembali kedapur. Anak dan Ayah tersebut pun melepaskan rindu
dengan berbincang. Naira menceritakan keluarga Greta, kebaikan hati dan semua
hal yang Naira tidak dapatkan dari keluarga nya sendiri. Ayah berlinang air
mata.
“Maafkan segala kesalahan Ayah ya, Ra. Kalau saja Ayah tidak berpisah dengan Mama, mungkin kita masih bersama. Tapi kita nggak boleh lihat kebelakang terus, kalau Ayah dan Mama tidak berpisah. Kamu mungkin nggak akan ketemu Greta dan keluarganya, Bima dan Arga.”
Ayah memeluk putrinya
yang sudah dewasa itu. Naira menangis dalam pelukan Ayahnya.
“Maafin Naira, Yah. Naira sering marah dan
bilang Ayah penyebab Mama pergi. Sekarang Naira paham, ketika kita kehilangan
sesuatu. Pasti akan dipertemukan dengan yang lain, ibarat pepatah bilang hilang
1 tumbuh 1000. Benar kan, Yah? “ Tangis berubah menjadi senyuman diantara
mereka.
“Jadi Naira sudah menerima Ibu kan ya?”
Ibu
datang membawakan Air hangat untuk Naira dan Ayah dengan tersenyum.
“Naira selalu menerima Ibu, hanya saja. Naira tidak dapat mengekspresikannya karena canggung”
Naira memeluk Ibu sambungnya.
Mereka bersenda-gurau. Dan seorang anak Perempuan masuk, memanggil Ayah dari
luar pintu hingga masuk keruangan keluarga itu.
“Ayah Ibu, hujannya udah berhenti” suara
cempreng itu terdengar familiar.
“Masuk mandi, Din” Ibu mengambil handuk yang
tadi digunakan Naira dan memberikan kepada Dinda. Dinda adalah adik tiri Naira.
Sore itu pelangi hadir dengan indah, setelah
hujan berhenti membasahi bumi. Naira yang duduk depan rumah itu tersenyum
menatap pelangi.
“Ra, ayo makan dulu sebelum kamu pulang“ Ibu
mengahampiri Naira yang sedang memandangi Pelangi.
“Iya Bu” Naira masuk kerumah tersebut.
Melihat hidangan yang tertata dimeja membuat nafsu makan Naira meningkat.
Suasana keluarga yang lama dia rindukan dapat dia rasakan dengan keluarga yang
sebenarnya. Bukan berarti Keluarga Greta palsu. Namun, berada diantara keluarga
yang selalu kamu rindukan itu berbeda dengan “keluarga” yang sering kamu
maksud.
“Ra, apa kamu tidak berniat mencari Mama?”
Ayah membuka pembicaraan
“Uuntuk apa, Yah?”
“Teman lama Mama-mu pernah bertemu dengan
Ayah di Pasar tempat Ayah berjualan. Katanya dia sudah menikah di Jakarta”
“lalu?”
“Ayah tidak ingin kamu memutus silaturahmi dengan Mamamu, bagaimanapun Mama itu juga Ibu Kandungmu.”
Ayah menjelaskan agar
Naira dapat mengerti apa yang Ayahnya maksud.
“Bagaimana Naira mencarinya?”
“Temannya bilang dia tinggal di Daerah
Kampung Melayu“
“Kampung Melayu luas, Yah”
“Nanti Ayah tanyain lagi deh. Kamu harus cari ya?”
perintah Ayah tegas, Naira mengangguk.
Naira sudah di dalam Kost nya, merebahkan
tubuhnya. Dan memproses permintaan Ayahnya.
“Kampung melayu itu luas, Ayah. Kenapa juga
harus dicari, Mama aja gak pernah cari aku” ungkap Naira.
Ponsel Naira berdering, lagi-lagi Arga
menelpon. Naira ingat, dia belum mengucapkan terima kasih.
“Assalamualaikum Naira” Suara Arga diujung
sana.
“Waalaikumsalam Arga. Ada Apa?”
“Harus ada apa-apa ya buat nelpon kamu?”
“Eehh nggak sih, oiya makasih es creamnya
kemarin”
“Seneng deh kamu suka” :)
“Suka dong apalagi gratis. Lain kali lagi ya”
Naira terkekeh.
“Boleh, asal ada satu syarat?”
“Wah berat kah syaratnya (mulai iseng)”
“Gak ko, asal setiap malam temanin aku
nelpon. Mau nggak?”
“Nggak perlu, Ga” Naira menggelengkan
kepalanya dengan senyum tipis.
“Lah? Aku ditolak”
“Maksud ku, gak perlu beliin aku es cream
kalau kamu mau ditemenin”
“ohh gitu hehe, jadi aku boleh nelpon kamu
nih tiap hari”
“ iya “
Naira dan Arga pun menghabiskan malam itu
dengan berbincang ditelpon. Naira tidak sadar dia belum membersihkan kamarnya.
Pagi hari, tepatnya hari senin cuaca tampak bersih dan lebih indah, seindah harapan baru
yang muncul ketika manusia sudah membuka diri untuk dunia baru. Awal memang sulit,
namun jika dilewati dengan hati ikhlas dan lapang. Semua akan mudah.
Greta menunggu Naira diujung gang tepat
didepan Kost Naira.
“Kamu lamaaaa” Greta menggerutu kesal.
“Aku kesiangan” dengan wajah memelas dan
berjalan mengikuti langkah kaki Greta.
“Semalam sampai jam berapa?”
“Jam 9.30 WIB, terus Arga nelpon sampai jam 01.00 WIB malam”
Langkah kaki Nara terhenti karena menubruk Greta yang
tiba-tiba berhenti.
“Arga, nelpon kamu. Ngapain?” Wajah terheran.
“Ya ngobrol, emang harus ada alasan khusus”
melanjutkan perjalanan mereka.
Tidak ada yang berubah, Bima dan Naira belum
seakrab dulu. Naira tetap diam meski berpapasan dengan Bima. Walaupun Bima
selalu berusaha memulai pembicaraan, Naira selalu membalas dengan jawaban
singkat dan ketus. Apa yang Bima khawatirkan terjadi, jarak.
0 Comments