Naira mengetuk pintu kayu (tanpa tenaga), Greta membukakan pintunya.
“Oh lihat, siapakah yang datang? Orang yang habis berselingkuh”
berteriak seraya memberikan isyarat pada ibunya bahwa Naira yang
dirindukannya pulang.
“Siapa yang selingkuh?” dengan nada heran.
Ibu Greta menghampiri Naira yang masih berdiri
diambang pintu.
“Masuk dulu ayo” tertawa kecil oleh tingkah
dua putrinya.
“Mah, siapa yang selingkuh?” Naira yang masih
bertanya dengan takzimnya.
Pertanyaan Naira dijawab pedas bak sambal masih anget oleh Greta. “Kamu lah. Siapa lagi? Yang ada dihadapanku
kan kamu”, berdiri dengan bersedekap tangan dan muka yang masam.
“Ko aku?” Naira membela diri.
“Greta cemburu kamu jalan sama Bima. Entah
dia suka Bima atau memang”,Ibu Greta tak melanjutkan kalimatnya sambil menahan
tawa yang tertutup oleh tangan mulai bergaris keriput itu.
“Mamah, aku normal dan sangat normal”, Greta
yang digoda ibunya pun langsung memeluk sang Ibu dengan erat.
“Aku pengen nangis”, Naira ikut memeluk Ibu
Greta bersamaan.
“Pulang cuma pengen nangis doang. Dasar anak
durhaka”, Ledek Greta kepada Naira :)
“Kenapa Nai?”, Ibu lebih bijak dengan mengusap kepala Naira ditengah kejailan Greta.
“Palingan duit nya abis”, Greta menjulurkan lidahnya mencoba meledek ulang.
Naira merenggangkan pelukan tersebut dan
menceritakan apa yang sedang dia rasakan. Patah hati, hari itu tiba juga. Naira
menguatkan hatinya, bima baru mengagumi belum memulai hubungan dengan Farrah.
Dan Naira pun sadar bahwa dia masih memiliki kesempatan untuk mencintai, walau
sendiri. Tapi perasaan kecewa terus menghantui Naira, seakan-akan dia adalah korban dari perjuangan yang salah sasaran.
Greta dan Ibunya menguatkan Naira, terkadang cinta itu tak harus saling menerima dan memberi. Cinta kadang harus saling
menyakiti dan mengkhianati. Agar hati dewasa bersama luka-luka, diri siap akan
rumitnya permainan hati yang terkadang tak selogika.
------------
Jam
makan siang pun tiba, Naira menghampiri Greta diruangannya.
“Ta, tadi pagi kamu ngajak makan siang
bareng”,berdiri didepan meja yang penuh dengan berkas-berkas dibuliri angka-angka yang hampir tak kasap mata.
“Ra, maaf. Aku gak sempet makan diluar. Tadi
ada laporan baru masuk yang harus aku cek. Kamu makan sama Bima atau Putri
gapapakan?” menatap Naira dengan memohon.
“Terus kamu makan apa?”
“Aku pesen online kali yaa”, tidak yakin
dengan jawabannya.
“Mau apa? Aku pesanin, aku makan disini
saja” duduk dibangku sekitarnya.
“Aku mau soto” tidak menoleh tetap terpaku
pada layar yang ada dihadapannya.
“Satu soto berdua ya, aku gak akan habis
kalau seporsi” sembari memainkan ponsel.
"Tapi nasi tetep dua, Ra” menoleh ke arah
Naira.
“Iyalah, mana bisa satu nasi berdua apalagi sama orang yang sedang stress dengan pekerjaannya” Menyindir Greta.
“Nanti kalau sudah sampai aku kesini lagi ya” , Naira meninggalkan ruangan Greta.
Ketika hendak kembali ke mejanya, Naira melihat Bima sedang berbincang dengan Farrah (begitu nyaman dan saling melempar tawa).
Meski sudah terbiasa dengan pemandangan
tersebut, Naira tetap lah patah hati. Meski sudah 3 tahun berlalu, Naira tetap dan masih akan terus mencintai Bima dalam diam.
Bima yang sadar ada Naira (sedang melamun, entah memikirkan apa), segera menghampirinya dan terlebih dahulu berpamitan dengan Farrah yang sekarang menjadi
karyawan diperusahaan tersebut. Bima tersenyum sambil menghampiri Naira.
Seketika Naira mengingat kembali pada awal pertemuan mereka, dan bagaimana
Naira hari ini bisa merasakan patah hati.
“Ra, nasi uduk tadi pagi enak gak?” berdiri
dihadapan Naira.
Naira yang sedang melamun dalam dunia ilusinya belum juga tersadar. Bima mengibaskan tangannya dihadapan Naira.
“Ra, aku lagi bicara sama kamu? Sepertinya
bukan Greta yang punya masalah tapi kamu. Dari pagi bengong begitu”
“Ah gak, Cuma ada beberapa pikiran aja”
tersadar dan tersenyum.
“Kalau emang kamu ada masalah......"
Kalimat Bima
terputus karena suara Putri memanggil Naira. Naira menghampiri sumber suara
tersebut dan langsung menuju tangga untuk mengambil pesanannya. Bima masih
berdiri disana, mengamati wanita yang baru saja menuruni anak tangga dengan
tergesa-gesa. Dia menyadari bahwa selama ini salah dalam bersikap pada Naira
tapi semua itu ada alasan. Hanya saja, Bima memilih untuk tetap berteman.
Naira manghampiri Greta dengan menjinjing kantong plastik
lengkap dengan mangkok untuk menyantap soto yang mereka pesan. Greta yang sadar akan
kehadiran sahabatnya itu segera mungkin merapikan meja kerjanya. Mengumpulkan semua kertas angka tanpa berurutan.
“Akhirnya cacing diperutku diberikan asupan
oleh istriku” Naira yang mendengar ucapan sahabatnya, bergidik. Dan orang yang
disekitar mendengar Greta berbicara seperti itu pun menganggap Greta terlalu
Hiperbola. Mereka menyantap makanan terebut dengan lahap.
“Naira, kamu tahu gak Bima sama Farrah putus
lagi?” berbisik pada Naira.
Bima dan Farrah sudah menjalin hubungan 2
tahun. Namun, hubungan mereka selalu putus nyambung dan tidak ada yang tahu apa
penyebabnya. Naira yang mendapat kabar tersebut, tidak terlalu kaget seperti
saat pertama kali mendengar.
“Lagi? Paling minggu depan juga balikan lagi” sambil menyantap makananya.
“Iya bener-bener, bukan hal pertama ya. Oiya
dekat rumah ada kafe baru, nanti malam makan disana yuk” dengan antusias.
Mereka mengobrol makin seru, membicarakan hal-hal random dan tertawa tanpa
mengingat bahwa mereka berada diruangan tidak kedap suara. Mereka tak menyadari
ada yang memperhatikan dari jauh. Bima memperhatikan dua sahabat tersebut
dengan senyum tipis. Sekelibat Bima mengingat segala kenangan indah bersama
mereka, sehingga Bima tak ingin kehilangan tawa mereka.
Naira sibuk dengan komputer dihadapannya, dia
harus meng-upload semua laporan penagihan hari ini. Greta yang datang
menghampirinya pun tidak disadari oleh Naira.
“Emang ya kerjaan kita tuh berhubungan, tadi
siang aku rekapin laporan piutang dari admin sales, ehh sekarang kamu bagian
penagihan” Greta berdiri di samping Naira.
“Jangan ganggu dulu, kamu tunggu depan aja ” Naira
tak menoleh.
Bima menghampiri dengan membawa lembaran kertas print.
“Nai, ko ini di print ulang ya? Ini kan udah
di laporin” Bima menegur pelan.
“Yaampunn, itu arsip ku. Pantas tadi gak ada.
Thanks Bim”
“Yoo manis hati-hati, aku duluan ya” berlalu
dan melambai.
Pekerjaan Naira selesai, mereka berdua pun
berlalu dari kantor untuk pergi ke kafe yang mereka bicarakan pada makan siang.
Naira dan Greta pulang-pergi (kantor) selalu berdua, meski Greta sekarang sudah
memiliki kekasih yang sudah dijalani selama 1 tahun itu. Kekasih Greta bekerja
disatu perbankan swasta, mereka jarang bertemu namun selalu berkomunikasi
melalui telpon. Kekasih Greta juga kenal dengan Naira dan cerita tentang Naira
dan Bima. Greta memberitahunya tanpa sengaja. Sesampainya dikafe yang ramai
oleh pengunjung yang mayoritas sepasang kekasih, mereka hanya tersenyum. Greta
dan Naira mendapatkan tempat duduk sejajar dengan panggung kecil di dekat kasir
kafe tersebut. Seorang pria tinggi dan berparas tegas sedang menyanyikan satu
lagu kesukaan Naira, lagunya Nikita Willy-Kutetap menanti.
Mereka duduk sambil menikmati lagu yang
mengalun lembut dan memilih menu yang ada didaftar menu. Naira bersenandung,
Greta menatap penuh khawatir.
“Kamu masih suka Bima? Nggak niat buat buka
hati?” melenyapkan imajinasi Naira.
“Aku belum bisa, Ta” menunduk.
“Paham sih, nggak semua orang memiliki cara
yang sama dalam menghentikan perasaan. Tapi kamu berhak bahagia loh, Naira”, mengusap punggung lengan sahabatnya. Naira hanya tersenyum dan membalas
genggaman tangan Greta. Alunan musik itu perlahan menghilang diganti dengan
lagu lain, tapi penyanyi masih sama. Makanan yang mereka pesan pun sudah
datang.
“Oiya tadi pagi kamu kenapa , Ta?” tanya
Naira bingung.
“Hampir aku lupa Nai. Aku mau kasih tahu
kamu, kalau Geo itu mau lamar aku”, dengan wajah bersemu merah bahagia.
Naira tersentak, “ serius, syukurlah. Aku
turut bahagia” mereka berpelukan.
“Nai, jangan minum kopi. Kamu gak mau kan
dirawat lagi?” omel Greta.
Naira yang mendengar hal tersebut pun tertawa.
Mengingat hal memalukan yang pernah menimpanya. Naira mengangguk menurut. Kabar
bahagia tersebut tak juga membuat hati mereka bahagia, karena mereka pasti akan
sulit bertemu. Greta yang memilih akan mengikuti Geo, dan Naira di Jakarta.
“Lalu Nai, ibu maunya kamu jangan nge-kost.
Tapi tinggal sama mereka. Mau kan? Jagian Bapak sama Mama untuk Aku?” Greta
memohon seperti anak kecil.
“Aku pikirin lagi ya, Ta. Soalnya minggu ini
juga aku harus ke Bogor. Aku takut ada hal yang membuat aku harus stay disana.”
Mereka pun melanjutkan menyantap makanan, musik di kafe itu berhenti. Entah karena rehat sejenak atau memang
sudah waktunya berhenti. Seketika Bima menghampiri Naira dan Greta.
“Ehh Duo Maia” sapa Bima.
“Loh, dimana-mana ada lu Bim” cibir Greta sembari memicingkan bibirnya.
“Gua ada mau ketemu sobat disini” langsung
duduk di kursi yang kosong.
“Ohh lu punya temen juga ya selain kita”
ledek Greta tertawa puas.
Naira hanya tersenyum lepas melihat mereka
berbincang, tiba-tiba seorang pria tinggi datang menghampiri meja mereka.
Seolah ada seseorang yang dikenalnya, Pria itu melambaikan tangannya dan
tersenyum lebar.
“Bro, disini bro” teriak Bima.
Naira dan Greta terkejut, ternyata pria yang
menyanyi tadi adalah teman Bima. Bima dan Pria itu bersalaman ala Pria pada
umumnya.
“Duo Maia kenalkan ini teman gua, Arga” (menepuk pundak Arga).
“Hai salam kenal, saya Arga teman SMP nya
Bima” mengulurkan tangannya pada Naira.
“Naira, salam kenal” Tersenyum.
“Greta, salam kenal” Ikut tersenyum.
Mereka berempat pun duduk di meja yang sama, berbincang-bincang seperti reunian teman lama.
“Sepertinya kita pernah ketemu” Sapa Arga mencoba menatap Naira
yang sedang sibuk memeriksa handphonenya.
Greta dan Bima bingung, bingung kapan mereka
bertemu, dan kenapa Naira tanpa reaksi. Naira yang sadar ditatap oleh Greta dan
Bima pun menoleh. Muka bingung Naira bertambah saat melihat Arga tak
memalingkan pandangannya pada Naira.
“Ah iya kenapa?” Naira baru sadar akan
pertanyaan itu. “Dimana ya?”
“Ladies first” berusaha membangkitkan ingatan
Naira.
“Oh iya yang diminimart yaa, dunia sempit ya”
Naira ingat kejadian tadi pagi. Mereka saling melempar tawa disaksikan Greta dan Bima yang bengong menyaksikannya. :)
Naira menceritakan pertemuannya dengan Arga,
mereka berempat pun asik mengobrol ini itu terlihat sangat akrab. Hingga mereka tidak sadar jam
sudah menunjukan pukul 11 malam. Greta ditelpon oleh Geo, dan Geo pun menjemputnya di Cafe itu. Sementara Naira pulang diantar oleh Bima dan Arga. Walapun tidak searah....
Penulis : "R"
0 Comments