|
|
|
|
|
|
Kembali lagi gua berkesempatan buat me-riview buku dari
karya Gita Savitri Devi. Buku berjudul “a Cup of Tea” adalah buku ke-2 karya
Gita. Sebelumnya, gua udah re-view buku “Rentang Kisah” yang menceritakan kisah
awal Gita kecil sampai kuliah di Jerman.
Dan, anyway, Gita begitu tegar melewati berbagai dera
cemoohan di seputaran hidupnya. Dalam buku “a Cup of Tea” ini, Gita melanjutkan
cerita dan kehidupannya setelah menyelesaikan kuliahnya. Banyak problems yang di tuangkan di buku ini.
Tentang sikap Gita yang over thingking, moodyan, di hujat banyak orang akibat
vloggernya, Cinta beda agama, menemukan jati diri dengan Islam dan banyak lagi.
Gita Savitri (google.com)
Gita memang suka hal-hal baru, keluar dari dirinya yang
introvert. Belajar banyak dari kesalahan ataupun dari hal diluar ekspektasinya.
Bertemu dengan Paul adalah anugerah terbesar dalam hidupnya. Melewati banyak
duka bersama Paul. Dan lagi-lagi Paul adalah teman sekaligus manusia yang memahami
sepenuhnya, bagaimana emosional Gita naik turun. Perundungan melalui dunia maya
benar-benar membuatnya down, menyalahi diri, bahkan sempat ingin menyudahi
segalanya.
Butuh sosok yang menguatkan saat itu, termasuk keluarga,
Paul dan teman-teman dekatnya. Trauma itu semakin ingin di kubur justru bias menjadi
bom waktu yang kapapun bisa saja meledak. Begitu katanya, tapi Gita selalu
punya cara untuk bangkit dari keterpurukan.
Gita Savitri (google.com)
Pilihannya untuk kuliah dengan sejuta keruwetannya juga
memberikan pengalaman berharga untuk bisa berteman dengan dunia luar. Benteng
tinggi yang selalu di bangunnya ternyata lambat laun mengikis seiring dengan
lingkungan yang dia hadapi. “Diri sendiri lah yang perlu di kenali dan mampu
mengendalikan segalanya”.
Gita bertahan demi sebuah tujuan. Segala kesenangan
terbayar untuk pencapaiannya sekarang. Kalau ditanya apa pekerjaannya ? Gita
lantas bingung dan harus menjelaskan apa kepada lawan bicara yang baru
dikenalnya. Dia vlogger? Penulis? Influencer? Atau apalah. Gita pun bingung.
Dan tertawa pelan.
Gita Savitri (google.com)
Dan buku ini menjadi bukti bahwa Ia mampu berkarya lewat
caranya. Lewat deretan kisah yang mampu menjelma menjadi pelajaran hidup
terutama bagi yang membacanya.
Pemikir keras, begitu sosok yang di gambarkan di buku
ini. Tidak dianggap keberadaanya padahal sudah mengorbankan waktu, sampai ia
berfikir, “Menyudahi pertemanan yang toxic adalah hal paling tepat dalam
hidupnya.” Dan itu membuatnya jauh lebih baik-baik saja, bahkan sebelum dan setelah
pergi mengenal mereka. Lingkar pertemanan begitu sulit, begitu susah di
jelaskan jika tidak sejalan dengan pengertian satu sama lain.
Gita tetap bangkit walaupun bertahun-tahun menelan
kepahitan bertubi-tubi. Baginya, ia menyukai dirinya yang sekarang. Bahkan
bertahan di tengah serangan orang yang yang 100% tanpa perlu mengenalnya dan
itu menyakitkan. Tuhan selalu punya cara untuk memberikan kekuatan mental pada
hambanya. Dia bercerita tentang hijau, suasana nyaman di Swiss dan daerah
pegunungan bersalju yang ia temukan nyaman di dalamnya.
Dan ada kalimat Paul tentang Gita, biarpun dia
emosionalnya niak turun, suka marah, kesal, ngatur ini itu. Paul menerima Gita
sepenuhnya. Katanya kepada Gita, “Aku tidak menemukan yang paling sempurna pada
Gita, tapi bagiku dia adalah Cukup.”
That, merupakan pernyataan yang paling romantic dari
seorang laki-laki yang menerima segala kekurangan wanitanya menjadi sebuah kelebihan.
Lebih lanjut, Gita juga mengajari kita bahwa hidup akan terus berlanjut sampai
kapan pun itu, Bahkan setelah kematian itu menghampiri. Kepergian dan
perpisahan itu pasti dan kita hanya sedang mengantri menunggu giliran.
Terakhir, buku ini menjadi sarana anak muda untuk kuat
mental menghadapi berbagai macam cobaan, dari hal sepele bahkan yang paling
ekstream sekalipun. Karena dari sinilah kita bisa menemukan arti kehidupan yang
bisa menjadikan diri kita lebih baik. Tentu, kita akan melewatinya bersama
orang-orang yang tulus masuk dalam keterurukan kita untuk bisa berdiri bersama
dan melangkah ke arah tujuan yang baik.
0 Comments