Mungkin kita tidak sepenuhnya saling melupakan. Kisah yang diciptakan sejalan dengan ketulusan. Tanpa rayuan, tanpa pesan berbintang dan tanpa saling memanggil antrian tak terjawab. Kita, sudah bukan orang asing, bukan pula saling bersaing demi mendapat arah mata satu sama lain. Duduk bersama, di bangku panjang kala itu, aku sedang tidak menginginkan apa-apa. Tulisan di papan dengan kapur berserakah jatuh ke lantai yang masih kasar, seakan lebih memfokuskan aku untuk menunduk menuntun pensil berlarian baris per baris di buku yang selalu jadi media belajar.
Kamu, dengan karakter seorang laki-laki datang dan menggeser posisi orang di sebelahku. Kamu, tidak berucap apapun, aku juga tidak menoleh, hanya sesekali aku melihat papan yang persis berada di depanku. Kamu, melihatku begitu serius. Seakan aku adalah jawaban dari pertanyaan matematika yang pantas di pikirkan lalu serta merta di coret silang. Kamu, tetap mempertahankan dirimu melihat ke arahku, dengan tangan kiri bertumbu pada meja dan menahan kepala. Kamu tersenyum, dan aku hanya menyeka keheranan.
Kamu bilang, "Aku suka kamu". Aku buru-buru menoleh dan menghentikan tanganku dari pensil yang tertekan di kertas putih. Aku lihat rupanya yang sudah di samping dengan mata berbinar dan juga muka yang tersenyum seakan menggambarkan keberanian mengatakan hal ini. Aku bilang, "Apaan si, kita saudara tau..."
Begitu polosnya kita saat itu, aku berusaha menjelaskan perihal ini. Tapi kamu tetap pada pendirianmu, menyatakan perasaan dan minta kejelasan. Itu awal pertama kali, seorang laki-laki kecil mendekati dengan gentle-nya. Bahkan, sebelum itu, kita saling bermusuhan. Kamu si pembuat onar, biang keladi, suka memaksakan contekan, merusak dan merobek buku. Bahkan tak jarang, sering membuat menangis. Rasanya, setiap hari adalah harimu untuk menguasai kelas termasuk aku. Hingga ada hal kecil yang di ketahui, kamu di tampar keras oleh penjaga bocah kecil ini. Kamu, jadi berubah pagi harinya. Menghindar dan seakan kita sedang tidak kenal layaknya teman. Hingga semakin semester beranjak, kita bisa mencairkan suasana. Tapi, tetap aku menghargai keberanianmu. Walaupun sampai detik ini, melihatku saja kamu berpikir puluhan kali.
Setiap melihat saat bertemu, aku selalu ingat banyak perhatian dan salah tingkahmu. Tapi, itu hanya soal dulu. Karena kita adalah saudara. Kamu adalah orang pertama yang mempertanggungjawabkan perihal rasa dan keberanian makna. Sebelum akhirnya, kita mencapai dewasa, saling menemukan jalan untuk tidak saling bertegur sapa untuk waktu yang lama.
Jakarta, 5 April 2020
08:30
Lilis Setiani
0 Comments