"Ibu, maafkan saya. Anakmu kadang tak sempat membaca pesan singkat yang Ibu kirimkan. Ibu tidak sabar menunggu balasan kabar, namun saya masih saja tidak sadar. Rupanya Ibu ingin mengatakan tentang perasaan bahagia. Meluapkan emosi kepada anaknya. Semoga anakku, lekas membalasnya. Namun, berjam-jam, berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, tak kunjung ada dering telephone atau ringtone monoton bertandang. Tidak ada !
Hari itu, hatinya sangat cemas dan tak tenang. Anaknya sedang apa? Baik-baik saja kah? Sarapan apa hari ini? Masihkan ada uang untuk jajan?
Tidak Ibu, Ibu selalu dan terlalu dalam kecemasan. Anaknya yang sejak lahir adalah penghilang rasa sakit pertaruhan hidup dan mati, anaknya yang usia dini masih terus disuapi. Tapi, hari itu kabar gembira tak kunjung mendapat balasan. Sikapnya memang pemaaf, tapi rasa cemasnya jauh lebih kuat daripada pengolah otot motorik dan saraf. Anakmu kadang tak bisa seperhatian Ibu, tak bisa semengerti Ibu, tak bisa sepeduli Ibu. Anakmu hanya sedang tertipu oleh waktu. Maafkan anakmu Ibu."
Cerita seorang teman yang menghabiskan waktu hampir 24 jam.
Jakarta, 3 Oktober 2019
08:21 WIB
Lilis Setiani
https://draft.blogger.com/blog/posts/7624612856145474547?q=label%3A%22Pena%20Kehidupanku%22
0 Comments